18 April 2014
Penulis: La Ane



A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan arus globalisasi telah membawa perubahan di semua aspek kehidupan manusia. Dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan yang ditimbulkannya, persaingan global dan proses demokratisasi, sangat diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas melalui pembaharuan sistem pendidikan yang berbasis kompetensi, demokratis dan berwawasan lokal dengan tetap memperhatikan standar nasional. Era globalisasi menuntut suatu negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya agar mampu bersaing di kancah Internasional. Oleh sebab itu masing-masing individu dituntut mengembangkan keahlian serta memperluas wawasan guna meningkatkan kualitas diri.

Pembaharuan-pembaharuan dalam bidang pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Salah satu pembaharuan tersebut adalah dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang bersifat konvensional saat ini masih banyak digunakan, padahal sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang ada. Pembaharuan harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran itu sendiri dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Aktivitas pelaksanaan pendidikan dalam bentuk paling sederhana selalu melibatkan pengajar dan mahasiswa. Dalam hal ini, mahasiswa harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Namun pada kenyataannya, masih banyak mahasiswa yang belum terlibat secara aktif, sehingga hanya bersifat pasif.
Keberhasilan proses pembelajaran juga sangat tergantung pada kemampuan dan apresiasi pengajar. Para pengajar perlu memahami misi kurikulum, perspektif dan pendekatan masingmasing satuan kompetensi dasar yang harus dicapai, sehingga memberikan keleluasaan dalam mengelola pembelajaran sesuai dengan potensi dan kondisi lingkungan, dan mendorong siswa untuk lebih memanfaatkan sumber-sumber belajar yang ada.



Pembaharuan-pembaharuan dalam bidang pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Salah satu pembaharuan tersebut adalah dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang bersifat konvensional saat ini masih banyak digunakan, padahal sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang ada. Pembaharuan harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran itu sendiri dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Aktivitas pelaksanaan pendidikan dalam bentuk paling sederhana selalu melibatkan pengajar dan mahasiswa. Dalam hal ini, mahasiswa harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Namun pada kenyataannya, masih banyak mahasiswa yang belum terlibat secara aktif, sehingga hanya bersifat pasif.
Keberhasilan proses pembelajaran juga sangat tergantung pada kemampuan dan apresiasi pengajar. Para pengajar perlu memahami misi kurikulum, perspektif dan pendekatan masingmasing satuan kompetensi dasar yang harus dicapai, sehingga memberikan keleluasaan dalam mengelola pembelajaran sesuai dengan potensi dan kondisi lingkungan, dan mendorong siswa untuk lebih memanfaatkan sumber-sumber belajar yang ada.
Komponen lain yang melengkapi metode pengajaran selain pengorganisasian isi adalah pengelolaan pengajaran atau pengelolaan pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran yang dipreskripsikan di sini adalah pengelolaan yang esensinya untuk melakukan perubahan orientasi pendidikan yang selama ini dipakai yaitu pola pengelolaan yang konvensional, berorientasi pada pencapaian materi bukan pada penguasaan kemampuan memecahkan persoalan. Salah satu strategi untuk mempreskripsikan praktik pengelolaan belajar yang menggantikan pola konvensional dikembangkan pengelolaan belajar kolaboratif.
Pengelolaan belajar kolaboratif sesuai dengan gagasan yang dilontarkan Bruffee (Zamroni, 2000:44), bahwasannya praktik pengelolaan pendidikan tradisional yang telah menimbulkan kesenjangan akademik, okupasional dan kultural harus direformasi dengan praktik pendidikan yang memberi kesempatan kepada pebelajar untuk mengembangkan kerja kelompok.
Kerja kelompok yang didukung oleh kemandirian yang dimiliki oleh setiap individu anggota kelompok akan mampu membentuk suasana belajar kerjasama yang diikuti oleh rasa kesalingtergantungan dengan penuh tanggungjawab di antara anggota-anggota kelompoknya. Bentuk dan suasana belajar demikian dikenal dengan belajar secara kolaboratif. Umumnya dalam proses pembelajaran keterlibatan mahasiswa masih kurang dalam mengikuti kuliah, mereka baru aktif jika diberi tugas atau disuruh oleh dosen.
Materi mekanisme pencatatan debit dan kredit, sangat sulit dipahami oleh mahasiswa. Penyebabnya karena materi ini bersifat abstrak yang  menyangkut beberapa aspek dan sulit untuk dipahami, sehingga mahasiswa merasa bosan , ngantuk dan jenuh. Oleh karena itu untuk menciptakan partisipasi aktif diperlukan adanya metode pembelajaran yang sesuai. Jika tidak dilakukan perubahan dalam proses pembelajaran, maka sikap mahasiswa tetap pasif, level berpikirnyapun hanya pada tahap remembering, hafalan, dan jika diberi soal berpikir dan konseptual mereka tidak mampu menyelesaikannya. Akibatnya hasil yang dicapai rendah.
Berdasarkan kenyataan tersebut perlu dilakukan penelitian pengembangan model pembelajaran “OE-TPR” (Orientasi, Eksplorasi, Transformasi, Presentasi, dan Refleksi) untuk meningkatkan hasil belajar Pengantar Akuntansi 



B. Teori Pendukung

Pendekatan “OE-TPR” didukung oleh teori belajara kolaboratif. Teori belajar kolaboratif dimotori oleh Bruffee (Zamroni, 2000:156) tumbuh dan berkembang atas kesadaran akan pentingnya pengembangan diri pribadi pebelajar yang holistik, sehingga menuntut perubahan mendasar proses pembelajaran yang konvensional didominasi oleh ceramah dengan pengajar sebagai sumber tunggal dan pebelajar sebagai pendengar yang baik.
Teori belajar kolaboratif menekankan pada proses pembelajaran yang digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan emosi secara dinamis baik dari fihak pebelajar maupun pengajar. Teori ini didasarkan pada gagasan bahwa pencarian dan pengembangan pengetahuan adalah merupakan proses aktivitas sosial, dimana pebelajar perlu mempraktikannya. Pebelajar bukanlah penonton dan pendengar yang pasif, tetapi mereka harus dilibatkan dalam proses pembelajaran, lingkungan diciptakan untuk mendorong dan menghargai inisiatif pebelajar, dan perlu perlakuan pemberian insentif bagi keterlibatan pebelajar. Tujuan akhir adalah menghasilkan pebelajar yang utuh yakni matang intelektual, sosial dan emosi. Mereka adalah generasi baru yang diharapkan yang disamping memiliki prestasi akademik cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat. Praktik pendidikan dibawa ke jalur yang benar yakni menghasilkan manusia yang ber “otak” dan ber-“hati” (Zamroni, 2000:146-147).
Mahnaz Moallem (2003:88) mengidentifikasi 4 (empat) tipe pentingnya kerjasama kolaboratif pemecahan masalah dalam kelompok yang dirangkumkan dari beberapa penelitian antara lain:
1)      Menumbuhkan tanggungjawab individu, karena diantara individu menyadari akan adanya tugas-tugas bersama dalam kelompok (Johnson, Johnson, & Smith, 1991; Slavin, 1995).
2)      Meningkatkan komitmen pada kelompok dan tujuan-tujuan bersama dimana anggota kelompok saling bantumembantu, saling membutuhkan, memberikan umpan balik yang tepat, dan memberi dorongan untuk pencapaian tujuan-tujuan bersama (Johnson, et al., 1991; Slavin, 1995).
3)      Memperlancar interaksi antar individu dan antar kelompok di antara anggota kelompok, yang memungkinkan tiap anggota menampilkan keterampilan sosial dan kompetensi dalam berkomunikasi (Rubin, Rubin, & Johnson, 1997).
4)      Memberikan stabilitas pada kelompok sehingga anggota kelompok dapat bekerjasama dengan anggota lain dalam waktu yang cukup lama tapi tidak melelahkan dan dapat membangun norma kelompok, penampilan tugas bersama, dan pola-pola interaksi (McGrath, 1992).
Selain itu menurut Vygotsky, 1978 (Mahnaz Moallem,2003:86) belajar juga merupakan sebuah konstruksi sosial yang dibangun melalui bahasa dan diskursus sosial. Shaw, 1996 juga menunjukkan bahwa dalam pandangan sosial tentang belajar mengetahui (knowing) ditegaskan, pengetahuan itu dikonstruksi karena dampak keterlibatan dalam siklus perkembangan yang memfasilitasi perubahan konseptual pebelajar.


Hubungan sosial akan terjadi pada lingkungan belajar yang kolaboratif dengan kerjasama serta adanya dialog aktif (Moore, 1991; Saba & Shearer, 1994). Harasim (1989) melengkapi pandangan ini, dalam situasi demikian lingkungan belajar akan tampil dalam beragam perspektif yang memberi kesempatan untuk membentuk tahapan pengetahuan seperti seorang pebelajar saling bertukar informasi dengan lainnya, dengan orang-orang sekitarnya dan dengan para ahli dalam bidang itu (Mahnaz Moallem,2003:86).
Bentuk-bentuk pendekatan belajar lainnya yang mengandung berbagai aspek pendekatan kolaboratif antara lain dikenal dengan experiential learning, cognitive apprenticeships,service learning, case-based case-based learning dan project-based
learning. Bentuk-bentuk ini oleh Schmidt, 1984 dikatakan belum komprehensif. Masing-masing hanya memfokuskan pada aspek tertentu dari belajar kolaboratif. Belajar kooperatif hanya menekankan pengelompokan pebelajar dan penstrukturan kegiatan, problem-based learning memfokuskan pada penciptaan sekenario masalah dan memfasilitasi belajar dengan penggunaan tutor. Belum ada yang dengan jelas menguraikan bagaimana membimbing proses kerja pebelajar pemecahan masalah yang secara nyata Belajar kolaboratif meskipun belum banyak diterapkan dalam praktik, secara paradigma telah diterima secara luas oleh para ahli pendidikan, karena memiliki keunggulan-keunggulan, bahkan merupakan bentuk pembelajaran yang paling efektif (Johnson & Johnson, 1984; Panitz & Panitz,1996).


C. Langkah-Langkah Pembelajaran
Langkah-langkah model pembelajaran “OE-TPR” adalah sebagai berikut:

1.      Orientasi.
Tahap orientasi meliputi Apersepsi, motivasi, penyampaian tujuan pembelajaran, pembagian kelompok.

2.      Eksplorasi
Tahap eksplorasi, mahasiswa secara berkelompok mengidentifikasi permasalahan,  melakukan berbagai pendekatan dalam pemecahan masalah, melakukan aktivitas kolaborasi dengan anggota dalam kelompok, dan sumber sumber informasi di luar kelompok, Pada tahap ini dosen lebih berperan sebagai fasilitator untuk menyiapkan informasi dan material yang dibutuhkan mahasiswa, di samping itu dosen dapat pula memberikan bantuan bilamana dibutuhkan mahasiswa dalam memecahkan suatu masalah secara efektif dan efisien.
3.      Transformasi
Tahap transformasi mahasiswa dalam kelompok saling memberikan informasi tentang permasalahan yang mereka pahami serta solusi-solusi pemecahan masalah menurut persepsi masing-masing anggota.
Pada tahap ini sangat dibutuhkan sikap keterbukaan dan kesediaan dalam memberikan gagasan dan menerima gagasan dari anggota dalam kelompok.
Pada tahap ini dosen berkewajiban memberikan lingkungan belajar yang kondusif sehingga proses transformasi pengetahuan antar anggota dapat terjadi.
4.      Presentasi
Tahap presentasi setiap kelompok mempresentasikan permasalahan yang mereka temui dan solusi-solusi yang telah mereka lakukan dalam kerja kelompok.
Pada tahap ini diberikan pula kesempatan bagi kelompok lain untuk memberikan kritik dan masukan kepada kelompok yang sedang tampil.
Pada tahap ini dosen berkewajiban memberikan fasilitas presentasi dan menjaga agar diskusi berjalan secara sehat sehingga masukan dan kritik dapat berjalan secara efektif. 

5.   Refleks
Tahap refleksi mahasiswa melakukan analisis terhadap temuan-temuan yang telah mereka dapatkan dilapangan dan masukan-masukan dari hasil presentasi. Refleksi mahasiswa dapat dilakukan secara individual maupun kolaboratif.

D.       DAFTAR PUSTAKA
Walgenbach, Paul. 1990. Financial Accounting. Washington DC. HBJ

Zamroni. 2000. Pembelajaran Kolaboratif . Jakarta : Gramedia
TP UNJ-Unimed Angkatan 2013 . Powered by Blogger.

Followers