31 May 2014


Hudson Sidabutar **)
hudsonsidabutar@yahoo.com




ABSTRAK

                Sekolah suatu organisasi belajar  yang dirancang secara khusus untuk pengajaran yang memiliki visi, misi dan tujuan. Organisasi belajar  suatu konsep dimana organisasi dianggap mampu untuk terus menerus melakukan proses pembelajaran mandiri (self leraning) sehingga organisasi tersebut memiliki ‘kecepatan berpikir dan bertindak’ dalam merespon beragam perubahan yang muncul. Kegagalan sekolah sebagai organisasi belajar karena sekolah  tidak melakukan pembelajaran mandiri, orangdidalam organisasi tidak mengembangkankapasitasnya secara terus-menerus  tidak mampu beradaptasi dengan tantangan kemajuan zaman. Tujuan dari tulisan ini untuk mengukur apakah sekolah yang sebagai objek sampel dari tulisan ini  sudah menjadi organisasi pembelajaran. Metode penelitian dilakukan dengan survey pada satu sekolah pada bulan April 2014. Instrument yang digunakan berupa angket yang di adopsi dari buku Building the Learning Organization yang ditulis oleh Marquardt (2002:237-241), ada lima komponen yaitu (1) dinamika pembelajaran yang dilakukan, (2) transformasi organisasi (3)pemberdayaan warga sekolah (4)Manajemen (5)Pengetahuan aplikasi teknologi
Dari hasil pengumpulan data maka diperoleh bahwa dinamika pembelajaran yang dilakukan oleh individu, grup maupun organisasi, disekolah jumlah skor   22 dari 40 skor maksimal atau 55 % , dengan rata-rat 2,2. Dengan demikian  dinamika pembelajaran yang dilakukan sekolah tersebut berada pada tingkatan moderat (sedang = 25%-50%).  Pada bagian transformasi organisasi tersebut, jumlah skor yang diperoleh 20 dari skor total 40 maksimal  (50 %) skor rata-ratanya 2.0 artinya transformasi organisasi yang ada di SMA tersebut dilaksanakan pada tingkatan moderat (sedang = 25%-50%),  Pada bagian pemberdayaan warga sekolah tersebut, jumlah skor yang diperoleh 22 dari skor total 40, artinya pemberdayaan warga sekolah di SMA adalah  55 %, skor rata-ratanya adalah 2.2, berarti pelaksanaan  subsistem  pemberdayaan warga di  SMA dilaksanakan pada tingkatan cukup besar total (cukup  Besar = 50% -75%).  Pada bagian Manajemen Pengetahuan, skor yang diperolah 20 dari skor total 40, artinya penerapan manajemen pengetahuan di sekolah tersebut adalah  82.5%, skor rata-ratanya adalah 2.0, hal ini berarti pelaksanaan  subsistem  knowledge (pengetahuan) di  SMA berada pada tingkatan yang rendah. Pada bagian aplikasi teknologi tersebut, skor yang diperoleh adalah 22 dari skor total 40, atau sekitar  50 %  pemanfaatan  teknologi yang diaplikasikan sekolah tersebut dalam proses pembelajaran maupun administrasi, skor rata-ratanya adalah 2.2, berarti pelaksanaan  subsistem teknologi di  SMA berada dilaksanakan pada tingkatan cukup besar total (cukup  Besar = 50%-75%). Secara keseluruhan dari lima bagian pengamatan jumlah 106 dari total skor 200, maka penerapan sekolah terhadap organisisasi belajar hanya 53 %, yang artinya bahwa pelaksanan sekolah sebagai organisasi belajar dilaksanakan pada tingkatan cukup besar total (cukup  Besar = 50%-75%).
-----------------------------------------
Kata Kunci : sekolah, organisasi pembelajaran, transformasi organisasi
*)   Disampaikan dalam memenuhi tugas Matakuliah KOB dari bapak Prof. Dr. B.P Sitepu.
**) Mahasiswa UNJ-Kerjasama dengan UNIMED








ANALISIS SEKOLAH SWASTA SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJARAN DI KELURAHAN PULAU BRAYAN DARAT



A.    Pendahuluan
           Sekolah adalah suatu lembaga yang dirancang khusus untuk pengajaran kepada para murid (siswa) di bawah pengawasan para guru. Sekolah sebagai sistem  yang membuat para siswa bisa mengalami kemajuan dengan melalui serangkaian proses pembelajaran.
Sekolah yang pada dasarnya sebagai sarana untuk melaksanakan pendidikan diharapkan bisa menjadikan siswanya menjadi masyarakat yang lebih maju, oleh sebab itu sekolah sebagai pusat dari pendidikan mempunyai visi misi serta tujuan harus bisa melaksanakan fungsinya dengan optimal dan perannya bisa menyiapkan para generasi muda sebelum mereka terjun di masyarakat.  Sekolah sebagai organisasi pembelajaran tempat memfasilitasi proses belajar Senge (1990), mengatakan organisasi pembelajaran adalah proses memfasilitasi pembelajaran bagi individu atau group yang dilakukan secara sadar dan bersama-sama dalam mentransformasikan pengelolaan dan penggunaan pengetahuan dalam mencapai tujuan organisasi secara terus menerus sehingga mencapai suatu kapasitas yang semakin luas. Organisasi pembelajaran harus terus belajar serta menyesuaikan diri dengan keadaan atau beradaptasi dengan tantangan kemajuan zaman yang selalu dinamis, kunci dari sekolah sebagai organisasi pembelajaran adalah belajar yang tiada henti dan melakukan perbaikan yang berkesinambungan (continuous improvement),

B.     Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada salah satu sekolah yang ada di kecamatan Medan Timur, Kelurahan Pulubrayan Darat. SMA Swasta di kelurahan Pulubrayan darat ada sebanyak ada sekitar 10 sekolah, pada penelitian  ini diambil satu diantara sekolah tersebut secara acak. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah sekolah tersebut termasuk dalam kategori organisasi sekolah pembelajaran?. Sebagai instrument yang digunakan berupa angket yang diadopsi dari buku Building the Learning Organization yang ditulis oleh Marquardt (2002:237-241). Ada lima komponen yang diamati yaitu (1) Dinamika Belajar Individu, Kelompok atau Tim, dan Organisasi dalam Organisasi  di SMA yang dilakukan, (2) Transformasi Organisasi Visi, Budaya, Strategi, dan Struktur dalam Organisasi di SMA yang dilakukan (3) Pemberdayaan Orang /Warga sekolah:  Orang Manajer, Guru dan Karyawan, Pelanggan, Rekan, Supplier, dan Komunitas dalam Organisasi di SMA yang dilakukan (4) Manajemen Pengetahuan Pemerolehan, Kreasi, Penyimpanan, Pemulihan, Transfer, dan Penggunaan dalam Organisasi di SMA yang dilakukan (5) Aplikasi Teknologi Sistem Informasi Pengetahuan, Pembelajaran Berbasis Teknologi,  Sistem Elektronik Pendukung Kinerja dalam Organisasi di  SMA yang dilakukan.  Kriteria yang digunakan setiap komponen yaitu :

Tabel 1. Rubrik penilaian apakah sekolah masuk ke Organisasi belajar
Skor
Rentang (%)
Kriteria
Artinya Apabila
1
0 - 25 %
Kurang
Komponen  dilaksanakan pada tingkat kecil atau tidak
2
25 – 50 %
sedang
Komponen dilaksanakan pada tingkat moderat
3
50 – 75 %
Cukup besar
Komponendilaksanakan pada tingkat cukup besar
4
75 – 100 %
Besar
Komponen dilaksanakan secara total

C.    Hasil Dan Pembahasan
      Hasilnya secara keseluruhan pengisisn intrumen sebagai indicator penilaian sekolah apaka sekolah sudah termasuk kriteria sebagai organisasi belajar, data secara keseluruhan terlihat seperti pada table 2. berikut ini.

Tabel 2 Skor Hasil Survei terhadap komponen oraganisasi belajar sekolah
NO.
KOMPONEN YANG DIANALISIS
Skor Max
Skor hsl survey
%
Harapan %
1
Dinamika Belajar Individu, Kelompok atau Tim, dan Organisasi dalam Organisasi  di SMA
40
22
55
100
2
Transformasi Organisasi Visi, Budaya, Strategi, dan Strukturdalam Organisasi di SMA
40
20
50
100
3
Pemberdayaan Orang /Warga sekolah:  Orang Manajer, Guru dan Karyawan, Pelanggan, Rekan, Supplier, dan Komunitas dalam Organisasi di SMA
40
22
55
100
4
Manajemen Pengetahuan Pemerolehan, Kreasi, Penyimpanan, Pemulihan, Transfer, dan Penggunaan dalam Organisasi di SMA
40
20
50
100
5
Aplikasi Teknologi Sistem Informasi Pengetahuan, Pembelajaran Berbasis Teknologi,  Sistem Elektronik Pendukung Kinerja dalam Organisasi di  SMA
40
22
55
100

Jumlah Total
200
106
53
100

  Dari table harapan yang dinginkan jika sekolah adalah sebagai organisasi belejar, semua komponen sinergis memberikan konstribusi terhadapa misi, visi serta tujuan tujuan sekolah.
Perbandingan komponen organisasi belajar di SMA dengan harapan adalah seperti pada gambar diagram berikut ini.

Gambar 1 Diagram perbandingan komponen organisasi belajar dengan harapan OB

Dari hasil pengisian angket yang telah dilakukan di SMA Swasta di Pulubrayan Darat, dengan metode evaluasi diri (pihak sekolah menilai diri sendiri) tingkat pencapaian dan implementasi organisasi pembelajaran, maka dapat dianalisis sebagai berikut :

1.      Dinamika Pembelajaran, (Individu, Grup atau Tim, dan Organisasi)
Pada bagian dinamika pembelajaran, jumlah skor  yang peroleh adalah 22 dari 40 skor maksimum, atau setara dengan 55 % . ini berarati dinamika pembelajaran yang dilakukan oleh individu, grup maupun organisasi, hanya 55 % dari 100 % harapan organisasi sekolah sebagai dinamika pembebelajaran jika dihitung skor rata-ratanya adalah 2.2, berarti pelaksanaan  subsistem Learning (pembelajaran) di  SMA tersebut berada pada komponen dilaksanakan pada tingkat sedang  , artinya komponen dilaksanakan pada tingkat moderat.  SMA tersebut dalam menerapkan subsistem Learning adalah: (1) Sudah mengelola dan mengembangkan pembelajaran secara mandiri, (2) pelatihan dan pembinaan  individu dalam pembelajaran sudah dilaksanakan secara total, (3) berbagai metodologi pembelajaran sudah dilaksanakan dengan baik, (4) pendekatan pembelajaran adaptif, anticipatory, pembelajaran kreatif, dan proses pembelajaran aksi sudah dilaksanakan secara total.
Kelemahannya dalam menerapkan subsistem Learning adalah: (1) masih lemah pada penggunaan berbagai metode pembelajaran untuk percepatan pembelajaran peta pikiran perlu ditingkatkan pembelajaran berkelanjutan (continuous learning) oleh semua guru, karyawan dan siswa, (2) pembelajaran antar team di sekolah melalui berbagai media (buletin elektronik, surat kabar, atau pertemuan antar grup) perlu ditingkatkan, (3) pendekatan komprehensif dan pendekatan sistem dalam pembelajaran perlu ditingkatkan.
Learning (pembelajaran) sebagai subsistem inti dari sebuah organisasi pembelajaran. Jika kita lihat dari pengertiannya, bahwa belajar adalah suatu proses dimana individu memperoleh pengetahuan dan insight yang menghasilkan perubahan tingkah laku dan tindakan, baik itu pembelajaran afektif, kognitif maupun psikomotorik.  Menurut Redding (1994),  individuall learning adalah hal yang sangat mendasar untuk melanjutkan transformasi organisasi, memperluas kemampuan inti organisasi dan mempersiapkan semua orang untuk menghadapi masa depan yang belum menentu. Subsistem Learning (pembelajaran) dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Subsistem Pembelajaran (Sumber: Marquardt, 2002: 36)


2.      Transformasi Organisasi : Visi, Budaya, Strategi dan  Struktur
Pada bagian transformasi organisasi tersebut, jumlah skor yang diperoleh adalah 20 dari skor total 40,  artinya transformasi organisasi yang ada di SMA Swasta di Pulubrayan Darat adalah 50%, kalau dihitung skor rata-ratanya adalah 2.0, berarti pelaksanaan  subsistem  Organization  di  SMA Swasta di Pulubrayan Darat berada pada tingkatan yang sedang, baik itu transformasi visi, budaya, strategi maupun struktur  yang ada. 
Dari hasil pengisian angket tersebut terdapat nilai yang tinggi yaitu skor 3 hanya pada  yaitu pada komponen iklim yang mendukung dan menghargai pentingnya pembelajaran, berkomitmen terhadap pembelajaran berkelanjutan dalam pengajaran, koordinasikan melalui usaha lintas jurusan dalam basis tujuan bersama dan pembelajaran, dari pada pemeliharaan batasan jurusan yang sudah tetap. peningkatan bagaimana para guru belajar dari kegagalan masa lalu, dan berkomitmen terhadap pembelajaran yang berkelanjutan.  Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Marquardt (2002), menyatakan bahwa untuk berkembang sebagai suatu identitas yang baru, organisasi harus mengkonfigurasi ulang dirinya dengan berfokus pada empat dimensi dari subsistem organisasi yaitu : visi, budaya, strategi, dan struktur. Masing-masing dimensi tersebut harus berubah dalam tujuan dan bentuk, dari fokus pada kerja dan produktivitas menjadi fokus pada pembelajaran dan pengembangan. Di sekolah tersebut dapat disimpulkan hanya sebagian guru dan karyawan saja yang menyadari pentingnya pembaharuan visi, kultur, strategi dan struktur organisasi sekolah tersebut, artinya sangat diperlukannya tambahan dukungan dari atasan sebagai top level yang dalam hal ini adalah kepala sekolah, pemberian penghargaan bagi individu yang melaksanakan pembelajaran, tugas belajar/ijin belajar, serta merekayasa ulang kebijakan dan struktur pembelajaran. Dari data ada beberapa hal kelebihan organisasi SMA tersebut, dalam menerapkan subsistem organisasi adalah: (1) Semua warga sekolah sebagaian memahami  pentingnya untuk menjadi organisasi pembelajaran, (2) Kepala sekolah mendukung visi organisasi pembelajaran, (3) Iklim sekolah yang mendukung dan menghargai pentingnya pembelajaran, dan komitmen terhadap peningkatan pembelajaran berkelanjutan (continuous learning) yang tinggi.
Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan oleh  organisasi sekolah tersebut dalam hal menerapkan subsistem organisasi adalah: (1) perlu peningkatan  kesempatan pembelajaran digabungkan ke dalam program dan pelaksanaan, (2) perlu peningkatan cara-cara untuk berbagi pengetahuan dan meningkatkan pembelajaran melalui organisasi (rotasi pekerjaan yang sistematik lintasjurusan sekolah, sistem on the job learning yang terstruktur)., (3) perlu peningkatan pentingnya untuk menjadi organisasi pembelajaran difahami oleh semua warga di sekolah tersebut. Sub sistem Organisasi sekolah dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Subsistem Organisasi (Sumber: Marquardt, 2002: 74)
        
Organisasi dapat berkembang dan tumbuh jika Visi, culture, strategi, struktur, perlu ada peningkatan dalam organisasi agar sinergis.

3.      Pemberdayaan Warga Sekolah: Manager, Karyawan/Guru, Pelanggan/ Siswa, Rekanan, Suplier dan Komunitas

Pada bagian pemberdayaan warga sekolah tersebut, jumlah skor yang diperoleh adalah 22 dari skor total 40, artinya pemberdayaan warga sekolah tersebut adalah  55 %, dari harapan 100 % terlaksana agar dapat mengahadapi tantangan jaman. Jika dihitung skor rata-ratanya adalah 2.2, berarti pelaksanaan  subsistem  pemberdayaan warga di  SMA tersebut berada pada tingkatan moderat yang sedang mengarah ke cukup mendekati pelaksanaan secara total pada subsistem pemberdayaan warga sekolah.
Pemberdayaan tersebut  meliputi kepala sekolah, guru dan karyawan, siswa, mitra sekolah, dalam hal ini dunia industri dan dunia usaha, supplier atau sekolah asal siswa atau pemasok bahan-bahan sarana dan prasarana bagi sekolah dan komunitas atau Komite sekolah, forum alumni dan lain-lainnya.
Dari hasil pengisian angket tersebut, tiga 2 dari sepuluh komponen mendapatkan skor 3, yaitu  Kewenangan didesentralisasikan dan didelegasikan dalam proporsi untuk tanggung jawab dan kemampuan pembelajaran, serta  peranan kepala sekolah mengambil sebagai pelatih, mentor, dan fasilitator pembelajaran, Hal ini harus disadari benar oleh kepala sekolah bahwa, warga sekolah adalah aspek yang penting bagi organisasi pembelajaran karena hanya orang yang mempunyai kapasitas untuk balajar untuk mengambil informasi dan memindahkannya menjadi pengetahuan yang berharga bagi orang lain secara personal dan organisasi.
Menyeimbangkan kebutuhan individu dan organisasi adalah hal penting agar produktivitas dan kualitas hidup kerja guru dan karyawan bisa baik. Selain itu hubungan dengan pihak eksternal sangat diperlukan untuk mengetahui keinginan dan tuntutan pasar akan output kita. Pemberdayaan komite sebagai pemberi pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan sangat diperlukan, agar kebijakan atau hasil keputusan dapat diterima oleh semua pihak dengan penuh rasa tanggung jawab.
Pemberdayaan (Empowerment) merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah organisasi, salah satu indikator organisasi yang sehat adalah bila di dalamnya terdapat individu-individu yang bersemangat. Menurut Rahman dan Savitri (2012) menciptakan empowerment dalam organisasi menyangkut self concept, self esteem dan self talk individu. Individu perlu merasa berharga, berguna, mempunyai pandangan positif mengenai karier, tugas dan pekerjaannya, serta selalu mempunyai ungkapan-ungkapan yang positif dalam self dialog-nya. Ada beberapa kelebihan SMA tersebut sebagai organisasi pembelajaran, dalam menerapkan subsistem people atau pemberdayaan warga sekolah adalah sudah mengimplementasikan dengan baik subsistem pemberdayaan warga sekolah, karena 8 dari 10 komponen subsistem mendapatkan skor 2. Kepala Sekolah mampu mendorong stafnya, dalam hal ini guru, untuk melanjutkan pendidikan lanjut, melanjutkan kuliah, dan mengikuti pelatihan pelatihan.
Kekurangan SMA tersebut dalam menerapkan subsistem people atau pemberdayaan warga sekolah adalah: Perlu peningkatan kesadaran warga sekolah untuk secara aktif  berbagi pengetahuan (knowledge sharing) antar guru, siswa, dan warga sekolah, dan pada waktu yang sama meraih ide-ide dan masukan mereka dalam rangka belajar dan meningkatkan prestasi belajar siswa dan prestasi sekolah. Sub sistem People dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4. Subsistem Orang
     (Sumber: Marquardt, 2002: 112)

4.      Manajemen Pengetahuan: Akuisisi, kreasi, penyimpanan, pemulihan dan transfer.

Pada bagian Manajemen Pengetahuan tersebut, skor yang diperolah adalah 20 dari skor total 40, artinya penerapan manajemen pengetahuan di sekolah tersebut adalah  50% , kalau dihitung skor rata-ratanya adalah 2.0, berarti pelaksanaan  subsistem  knowledge (pengetahuan) di  SMA tersebut berada pada tingkatan yang sedang ( (dilaksanakan pada tingkat moderat).
Hal ini menunjukkan lebih dari sebagian warga sekolah sudah menerapkan manajemen pengetahuan hanya 50 %, baik pada tingkat individu, kelompok maupun organisasi.  Dalam hal ini perlu disadari bersama bahwa manajemen pengetahuan  menjadi unsur penting bagi organisasi dibanding sumber daya lain seperti posisi pasar, teknologi serta aset organisasi lainnya (Steward, 1997). Dalam kasus manajemen pengetahuan yang ada di SMA tersebut masih berada pada level  sedang  (dilaksanakan pada tingkat moderat), dimana penyimpanan pengetahuan menggunakan sistem teknis seperti rekaman, data base, dan proses manusiawi, sehingga sangat riskan terhadap ancaman kehilangan pengetahuan karena penyimpanan tersebut menjadi terpisah secara fisik dan terdesentralisi.  Pada level inilah perlu sekali pembenahan, agar pengetahuan yang sudah tersimpan di organisasi bisa dianalisis dan ditransfer agar pengetahuan tersebut tetap ada dan bisa diakses oleh siapa saja walaupun organisasi tersebut senantiasa berganti sumber daya.
Warga sekolah juga perlu dilatih dalam hal keterampilan berfikir kreatif, inovatif dan eksperimentasi, sikap proaktif  merujuk pada tujuan akhir perlu diperhatikan dengan baik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Covey (1993) tentang 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif antara lai: (1) jadilah proaktif, (2) bmerujuk pada tujuan akhir, (3) mendahulukan yang utama, (4) berpikir menang-menang, (5) berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti, (6) mewujudkan sinergi, (7) mengasah selalu memperbaharui kehidupan.
Kelebihan SMA tersebut dalam menerapkan sub sistem knowledge atau manajemen pengetahuan adalah: (1) Warga sekolah secara aktif mencari informasi yang meningkatkan kerja organisasi sekolah, (2) adanya kesempatan warga sekolah untuk dilatih dalam hal keterampilan berfikir kreatif, inovasi, dan eksperimentasi.
Kekurangan SMA tersebut dalam menerapkan sub sistem knowledge atau manajemen pengetahuan adalah: kurangnya kesadaran para warga sekolah untuk melakukan knowledge sharing (berbagi pengetahuan)  kepada warga sekolah yang lain.
Sub sistem Knowledge (pengetahuan) dapat digambarkan sebagai berikut:

     Gambar 5. Subsistem Pengetahuan (Sumber: Marquardt, 2002:143)

Knowledge sharing (berbagi pengetahuan) dan transfer pengetahuan sangat penting dalam manajemen pengetahuan di sekolah, dengan berbagi pengetahuan dan  transfer pengetahuan antar warga sekolah, maka pengetahuan yang ada di sekolah bisa berkembang.  Nonaka & Takeuchi (1995:62) menyatakan bahwa pengetahuan diciptakan melalui interaksi antara tacit dan explicit  knowledge melalui empat mode konversi pengetahuan: (1) dari tacit knowledge ke tacit knowledge dinamakan sosialisasi, (2) dari tacit knowledge ke explicit knowledge melalui eksternalisasi, (3) dari explicit knowledge ke explicit knowledge melalui kombinasi, (4) dari explicit knowledge ke tacit knowledge atau disebut internalisasi. Empat mode konversi pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut:

                       
Gambar 6. Empat Mode Konversi Pengetahuan
Sumber: Nonaka & Takeuchi (1995: 62)

5.      Aplikasi Teknologi: Sistem Pengetahuan Informasi, Pembelajaran Berbasis Teknologi dan Sistem Pendukung Kinerja Elektronik.

Pada bagian Aplikasi Teknologi tersebut, skor yang diperoleh adalah 22 dari skor total 40, atau sekitar  55%  pemanfaatan  teknologi yang diaplikasikan sekolah tersebut dalam proses pembelajaran maupun administrasi, kalau dihitung skor rata-ratanya adalah 2.2, berarti pelaksanaan  subsistem teknologi di  SMA tersebut berada pada tingkatan yang cukup besar.
Teknologi Informasi (TI) dapat meningkatkan komunikasi, melebur batas-batas dalam organisasi dan meningkatkan berbagai kemungkinan hubungan diluar hirarki, bahkan menciptakan lingkungan belajar elektronis dimana semua warga sekolah  memiliki akses data yang sama, hal ini masih kurang disadari warga SMA tersebut, terlihat dari media pembelajaran yang belum semuanya berbasis TI, masih ada sebagian guru yang belum menggunakan pembelajaran berbasis TI, kurang optimalnya penggunaan website yang dimiliki sekolah untuk kegiatan pembelajaran seperti meng upload soal-soal atau materi-materi pembelajaran. Masih enggannya guru untuk membuat blog dan website sebagai sarana berbagi pengetahuan antar guru baik dalam satu sekolah maupun lintas sekolah.
Kelebihan SMA tersebut dalam menerapkan subsistem teknologi adalah: (1) Pembelajaran sudah difasilitasi oleh sistem teknologi informasi berbasis komputer, (2) sebagian besar warga sekolah telah mengakses jalur informasi melalui, misalnya LAN (Local Area Network), internet, dan intranet, (3) pihak sekolah sudah  merancang dan menata sistem pendukung kinerja elektronik agar sesuai dengan persyaratan pembelajaran di sekolah.
Kekurangan SMA tersebut dalam menerapkan subsistem teknologi adalah: (1) masih ada sebagian guru yang belum menggunakan pembelajaran berbasis TI, kurang optimalnya penggunaan website yang dimiliki sekolah untuk kegiatan pembelajaran seperti meng upload soal-soal atau materi-materi pembelajaran, (2) Masih enggannya guru untuk membuat blog dan website sebagai sarana berbagi pengetahuan antar guru baik dalam satu sekolah maupun lintas sekolah. Sub sistem Teknologi dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar  7.  Subsistem Teknologi (Sumber: Marquardt, 2002:178)

Alasan mengapa Learning Organization (Organisasi Pembelajaran) perlu diterapkan dalam organisasi sekolah adalah: (1) Organisasi tangguh adalah organisasi yang tak lapuk dimakan usia dan bersifat “survival of the fittest”, (2) Konsep “survival of the fittest” menuju “the survival of the fittest to learn”, (3) Organisasi pembelajaran sebagai alternatifnya, yang diharapkan mampu beradaptasi dan merespons tuntutan kebutuhan, (4) Organisasi pembelajaran memiliki tuntutan setiap warga belajar terus menerus untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat (Schlechty, 2009).
Senge (1990) mengemukakan bahwa di dalam learning organization yang efektif diperlukan 5 dimensi yang akan memungkinkan organisasi untuk belajar, berkembang, dan berinovasi yakni :
1.       Personal Mastery. Kemampuan untuk secara terus menerus dan sabar memperbaiki wawasan agar objektif dalam melihat realitas dengan pemusatan energi pada hal-hal yang strategis. Organisasi pembelajaran memerlukan karyawan yang memiliki kompetensi yang tinggi, agar bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan, khususnya perubahan teknologi dan perubahan paradigma bisnis dari paradigma yang berbasis kekuatan fisik ke paradigma yang berbasis pengetahuan.
2.       Mental Model. Suatu proses menilai diri sendiri untuk memahami, asumsi, keyakinan, dan prasangka atas rangsangan yang muncul.  Mental model memungkinkan manusia bekerja dengan lebih cepat. Namun, dalam organisasi yang terus berubah, mental model ini kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik dan menghambat adaptasi yang dibutuhkan. Dalam organisasi pembelajar, mental model ini didiskusikan, dicermati, dan direvisi pada level individual, kelompok, dan organisasi.
3.       Shared Vision.  Komitmen untuk menggali visi bersama tentang masa depan secara murni tanpa paksaan. Oleh karena organisasi terdiri atas berbagai orang yang berbeda latar belakang pendidikan, kesukuan, pengalaman serta budayanya, maka akan sangat sulit bagi organisasi untuk bekerja secara terpadu kalau tidak memiliki visi yang sama. Selain perbedaan latar belakang karyawan, organisasi juga memiliki berbagai unit yang pekerjaannya berbeda antara satu unit dengan unit lainnya. Untuk menggerakkan organisasi pada tujuan yang sama dengan aktivitas yang terfokus pada pencapaian tujuan bersama diperlukan adanya visi yang dimiliki oleh semua orang dan semua unit yang ada dalam organisasi.
4.       Team Learning.  Kemampuan dan motivasi untuk belajar secara adaptif, generatif, dan berkesinambungan. Kini makin banyak organisasi berbasis tim, karena rancangan organisasi dibuat dalam lintas fungsi yang biasanya berbasis team. Kemampuan organisasi untuk mensinergikan kegiatan tim ini ditentukan oleh adanya visi bersama dan kemampuan berfikir sistemik seperti yang telah diuraikan di atas. Namun demikian tanpa adanya kebiasaan berbagi wawasan sukses dan gagal yang terjadi dalam suatu tim, maka pembelajaran organisasi akan sangat lambat, dan bahkan berhenti. Pembelajaran dalam organisasi akan semakin cepat kalau orang mau berbagi wawasan dan belajar bersama-sama. Berbagi wawasan pengetahuan dalam tim menjadi sangat penting untuk peningkatan kapasitas organisasi dalam menambah modal intelektualnya.
5.       Sistem Thinking.  Organisasi pada dasarnya terdiri atas unit yang harus bekerja sama untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Unit-unit itu antara lain ada yang disebut divisi, direktorat, bagian, atau cabang. Kesuksesan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan pekerjaan secara sinergis. Kemampuan untuk membangun hubungan yang sinergis ini hanya akan dimiliki kalau semua anggota unit saling memahami pekerjaan unit lain dan memahami juga dampak dari kinerja unit tempat dia bekerja pada unit lainnya.  
Kelima dimensi dari  Senge tersebut perlu dipadukan secara utuh, dikembangkan dan dihayati oleh setiap anggota organisasi, dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Kelima dimensi organisasi pembelajaran ini harus hadir bersama-sama dalam sebuah organisasi untuk meningkatkan kualitas pengembangan SDM, karena mempercepat proses pembelajaran organisasi dan meningkatkan kemampuannya untuk beradaptasi pada perubahan dan mengantisipasi perubahan di masa depan.
Adapun kondisi sekolah dalam learning organization dan peran masing-masing komponen dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Kegiatan inti sekolah
Sekolah dalam organisasi pembelajaran adalah mendesain kegiatan yang menantang siswa untuk belajar.  Artinya tujuan sekolah adalah memberikan fasilitas agar desain-desain kegiatan pembelajaran siswa yang dapat menantang daya kreatifitas siswa, sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuannya secara optimal. Tujuan utama sekolah bukan lagi semata-mata bisa meluluskan siswanya 100% dan  Nilai Ujian Nasionalnya  tinggi, tetapi  lebih menekankan pada prosesnya.
2.      Siswa
Dalam lingkungan sekolah sebagai organisasi pembelajaran kegiatan siswa adalah sebagai knowledge worker atau pencari pengetahuan dengan menggunakan sudut pandang siswa maka siswa dalam mencari pengetahuan dengan bekerja dalam tim, memecahkan masalah bersama, dan yang paling penting siswa tahu bagaimana cara belajar yang baik.

3.      Guru
Dalam organisasi pembelajaran guru berperan sabagai pemimpin dan desainer serta pemandu pembelajaran dengan memberikan motivasi kepada siswa, merancang tugas-tugas yang menantang bagi siswa, memberikan alternatif berbagai sumber belajar yang relevan, serta bersama siswa dan orang tua membuat jaringan belajar.
4.      Peran Kepala Sekolah
Dalam organisasi pembelajaran adalah manjadi pemimpinnya pemimpin artinya kepala sekolah yang dapat memberdayakan guru untuk menjadi bertanggung jawab atas apa yang di lakukannya di kelas, sehingga guru menjadi pemimpin yang dapat langsung dapat mengambil keputusan yang bertanggung jawab atas permasalahan di kelas tanpa harus menunggu kepala sekolah, sehingga peran kepala sekolah dalam Learning Organization adalah menjadi pemimpinnya pemimpin (leader of leaders).
5.      Orang tua
Dalam organisasi pembelajaran orang tua adalah school partner, artinya orang tua berpartisipasi penuh, aktif, pembelajar, dan membentuk jaringan belajar untuk optimalisasi pembelajaran siswa.
6.      Pengawas Sekolah
Berperan sebagai pemimpin moral dan intelektual yang berperan sebagai orang yang memecahkan masalah dengan pemberdayaan guru dan kepala sekolah, jadi inti dari peran pengawas adalah pemberdayaan bukan datang ke sekolah untuk mengatasi masalah sendiri, tanpa melibatkan guru dan kepala sekolah.

7.      Dinas Pendidikan
Berperan sebagai capacity builder artinya dinas adalah lembaga yang mensuport sekolah dengan mengadakan pelatihan-pelatihan kepada guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan agar mampu dan menguasai bagaimana belajar cara belajar yang baik dan yang paling penting adalah guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan terus belajar dan belajar lagi.
Kompetensi manajerial kepala sekolah sesuai dengan Permendiknas No 13 tahun 2007  salah satunya antara lain: “Mengelola perubahan dan pengembangan sekolah/ madrasah menuju organisasi pembelajaran yang efektif”.  Hal ini berarti peran kepala sekolah sangat penting dan sentral dalam menjadikan sekolah menjadi organisasi pembelajaran yang efektif dan efisien. Kepala sekolah yang memiliki kompetensi yang handal akan mampu memimpin dan membawa organisasi sekolah menjadi organisasi pembelajaran.
Di samping kepala sekolah harus menguasai kompetensi manajerial yang baik, para guru juga harus mampu menjadi guru yang kompeten, efektif, dan guru inspiratif. Guru yang inspiratif menurut Ramdhani (2012) harus memenuhi 13 kriteria antara lain: (1) Menguasai materi pelajaran, (2) Menggunakan dengan tepat kemampuannya dalam mengajar dan belajar, (3) Kemampuan memecahkan masalah berkaitan dengan instruksional pembelajaran, (4) Kemampuan melakukan improvisasi, (5) Manajemen kelas, (6) Kepekaan dalam menanggapi situasi selama pembelajaran berlangsung, (7) Sensitivitas terhadap konteks, (8) Memonitor pembelajaran, (9) Bertindak berdasarkan data, (10) Mendemonstrasikan respek terhadap orang lain, (11) Mempunyai jiwa mendidik, (12) Membantu murid agar mencapai prestasi tertinggi, (13) Membantu murid agar lebih memahami kompleksitas.
Untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang efektif dan bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman maka kepala sekolah, guru dan semua warga sekolah harus mampu melakukan inovasi dan perbaikan terus menerus dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ancok (2012) yang menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis organisasi yang sangat cepat akan membuat organisasi menghadapi masalah besar yang akan menurunkan kinerja organisasi apabila organisasi tidak memiliki kemampuan inovatif, adalah sebuah keharusan bagi suatu organisasi untuk membangun kemampuan organisasi agar memiliki kekuatan untuk terus berinovasi. Lebih lanjut  Ancok (2012) menyampaikan bahwa secara garis besar ada tiga komponen modal organisasi yang mendukung inovasi yaitu: (1) modal manusia (human capital), (2) modal kepemimpinan (leadership capital), (3) modal structural (structural capital).  Modal manusia ada tujuh komponen, yang perlu dikembangkan agar insane dalam organisasi bisa memberikan kontribusi yang maksimal pada organisasi, modal tersebut antara lain: (1) modal kreativitas, (2) modal intelektual, (3) modal emosional, (4) modal social, (5) modal ketabahan, (6) modal moral, (7) modal kesehatan.
Kepala sekolah dituntut kemampuannya untuk mengelola modal-modal tersebut dengan baik dan benar untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran.
Untuk menjawab tantangan di masa yang akan datang memang tidaklah mudah, karena sifat dari perubahan yang tidak pernah berhenti, sehingga adaptasi yang tepat agar sekolah mampu bertahan pada masa yang akan datang. Salah satu bentuk perubahan yang akan di hadapi dunia pendidikan adalah bagaimana menjadikan sekolah kita menjadi sekolah yang bersifat learning organization. Adapun langkah yang dapat menjadikan sekolah menjadi organisasi pembelajaran menurut Marquardt (2002:211) antara lain:
1.      Semua pihak berkomitmen menjadikan sekolah mejadi model organisasi pembelajaran.
2.      Membentuk koalisi yang kokoh untuk berubah ke arah yang lebih baik.
3.      Menghubungkan pembelajaran dengan semua steakholder yang ada di sekolah.
4.      Mengukur semua sub sistem sekolah dengan penilaian kinerja.
5.      Mengkomunikasikan visi sekolah yang menjadi model organisasi pembelajaran.
6.      Mengenali pentingnya berfikir dan bertindak secara sistem artinya tindakan semua. stakeholder akan dapat mempengaruhi organisasi sekolah.
7.      Pemimpin pendidikan mulai dari guru, kepala sekolah, pengawas dan kepala dinas menunjukkan komitmen dan keteladanan pembelajaran.
8.      Mentransformasi kultur sekolah menjadi kultur belajar.
9.      Membangun strategi dan jaringan yang pembelajaran yang luas dengan semua sumber-sumber belajar yang ada di sekolah.
10.  Mereduksi model birokratif dengan cara mengefisiensikan struktur organisasi menjadi lebih ramping dan ringkas.
11.  Memperoleh pengetahuan dan budaya berbagi pengetahuan yang menjadi budaya dalam organisasi sekolah.
12.  Memperluas budaya belajar ke seluruh rantai organisasi sekolah.
13.  Menerapkan teknologi yang terbaik untuk mendukung proses pembelajaran.
14.  Menciptakan kultur prestasi sekolah yang dapat dicapai.
15.  Mengukur keberhasilan pembelajaran dengan alat ukur kesuksesan.
16.  Selalu beradaptasi, memperbaiki, dan belajar tiada henti.

Terakhir mau dibawa ke mana organisasi sekolah kita apakah di masa yang akan datang akan menjadi organisasi pembelajaran ataukah menjadi sekolah yang biasa?. Bisa dan tidaknya organisasi pendidikan menjadi organisasi pembelajaran bukan semata-mata  tergantung pada pemerintah, masyarakat, atau kepala sekolah, tetapi hal tersebut bergantung pada kemauan dan itikat baik dari semua stakeholder sekolah agar mau belajar dan belajar lagi dan menciptakan budaya organisasi pembelajaran secara berkelanjutan.

D.    Kesimpulan  Dan  Saran
Kesimpulan yang bisa kita ambil dari hasil analisis pengisian angket mengenai l Organisasi Pembelajaran di SMA tersebut  tingkat pencapaian sekolah sebagai organisasi pembelajaran adalah  53  %, kalau dihitung skor rata-ratanya adalah 2,3   ini berarti implementasi secara total pelaksanaan Organisasi Pembelajaran (Learning Organization) di SMA tersebut berada pada tingkatan yang sedang, menuju ke cukup.
Saran yang bisa diberikan kepada SMA swasta tersebut agara dapat menuju ke sekolah merupakan 0rganisasi pembelajaran yang efektif dan efisien adalah :
1.      SMA Swasta tersebut perlu melakukan peningkatan perubahan paradigma pembelajaran dari teacher centre ke student centre, perubahan dari organisasi birokrat ke organisasi pembelajaran, serta perubahan dari wajib belajar ke hak belajar.
2.      Meningkatkan komitmen untuk perbaikan output dan outcame serta pelayanan yang berkelanjutan, agar tidak mengalami demarketing dalam dunia pendidikan, sehingga bisa tetap bersaing di dunia global.
3.      Meningkatkan level manajemen pengetahuan dari storage menjadi analisis dan transfer pengetahuan.
4.      Mengembangkan sistem pendukung kinerja secara terintegrasi dan aplikatif untuk penemuan pengetahuan dan data mining, sehingga sekolah dapat membentuk organisasi pembelajaran yang menjadi pusat keahlian yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan mendistribusikan pengetahuan.
5.      Penggunaan Teknologi Informasi  (TI) dalam pembelajaran dan untuk mengelola proses kelompok seperti kegiatan sekolah, urusan, dan manajemen organisasi sekolah perlu ditingkatkan.
6.      Mengoptimalkan peran seluruh stakeholder sekolah untuk bersinergi dalam mewujudkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran.

Daftar Pustaka

Ancok, D. (2012).  Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi. Jakarta: Erlangga
Covey, S.R. (1993). The 7 Habits of Highly Effective People. New York: Simon & Schuster.
Marquardt, M. J. (2002). Building the Learning Organization: Mastering 5 Element for Corporate Learning. California: Davies-Black Publishing.
Nonaka, I., and Takeuchi, H. (1995). The Knowledge-Creating Company. New York: Oxford University Press.
Rahman, E. dan Savitri, S. (2012, Desember 29). Empowerment.  Harian Kompas, halaman 32.
Ramdhani, N. (2012). Menjadi Guru Inspiratif: Aplikasi Ilmu Psikologi Positif dalam Dunia Pendidikan.  Jakarta: Titian Foundation.
Redding, J. (1994). Strategic Readiness: The Making of the Learning Organization. San Fransisco: Jossey-Bass.
Schlechty, P.C. (2009). Leading for Learning How to Transform Schools into Learning Organizations. San Francisco, CA: John Wiley & Sons Inc.
Senge, P.M. (1990). The Fith Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. New York: Doubleday.
Stewart, T. (1997). Intelectual Capital: The New Wealth of Organization. New York: Doubleday.





TP UNJ-Unimed Angkatan 2013 . Powered by Blogger.

Followers